Artikel | Litigasi | Non Litigasi | Pidana

MEMASYARAKATKAN KEMBALI WARGA BINAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Oleh : ARDHI KUSUMA, S.H.

Kata penjara sudah familiar dan ter-mindset dalam telinga masyarakat, kata penjara sendiri sering digunakan masyarakat sebagai bentuk hukuman bagi kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Sedangkan kata pemasyarakatan sendiri sangat asing untuk sebagian besar masyarakat awam.

Sampai sekarang di dalam mindset masyarakat, mantan warga binaan pemasyarakatan atau lebih sering di sebut narapidana masih dipandang sebelah mata bahkan yang menyedihkan banyak juga yang tutup mata. Persepsi yang ada di mayoritas masyarakat bahwa mantan narapidana adalah orang jahat yang harus dijauhi, dihindari dan dikucilkan. Kita juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan masyarakat, karena hal ini sebagai konsekuensi logis akan tindakan mereka di masa lampau, dimana mereka sudah melakukan pelanggaran hukum dan melanggar norma-norma yang ada di masyarakat.

Setiap orang memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap suatu hal, baik itu yang ada dalam diri sendiri atau orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Erving Goffman dalam teorinya mengenai diri (self), yaitu bagaimana seseorang memaknai dirinya sendiri sebelum mendengar tentang dirinya dari orang lain. Goffman mendefinisikan stigma sebagai situasi individu yang terdiskualisasi dari penerimaan sosial yang utuh atau situasi yang tidak menerima penerimaan utuh.

Inilah yang menjadi problem besar di masyarakat kita, ketika akan memasyarakatkan warga binaan pemasyarakatan. Sejak dulu stigma mayoritas masyarakat sudah terbentuk dimana lembaga pemasyarakatan atau lazim disebut penjara itu adalah tempat orang jahat dihukum, disiksa, dirampas kemerdekaannya dan tempat segala macam kesusahan dengan tujuan membuat jera. Maka seseorang yang sudah bebas dari lembaga pemasyarakatan banyak tidak diterima kembali dimasyarakat karena dianggap sudah tidak bermoral. Seperti yang dikemukakan oleh Erving Goffman yang menggunakan konsep stigma untuk menggambarkan suatu proses yang dimana orang-orang tertantu secara moral dianggap tidak berharga atau dengan kata lain stigma merupakan sikap, perlakuan atau perilaku masyarakat yang memandang perilaku tertentu sebagai hal yang buruk sebagai orang yang secara moral tidak berharga.

Salah satu bukti konkrit dari diskriminasi yang dialami oleh mantan narapidana adalah ketika mantan narapidana sudah kembali ke dalam masyarakat biasanya mereka tidak akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan karena banyak perusahaan atau pemilik usaha enggan memperkerjakan mereka sebagai pegawai. Seorang mantan narapidana merupakan kelompok yang rentan dalam masyarakat. Sebagai kelompok rentan terhadap ancaman, mantan narapidana seringkali mendapatkan perlakuan diskriminasi termasuk dalam mendapatkan pekerjaan. Karena kesulitan dalam memperoleh pekerjaan ditambah lagi dengan desakan kebutuhan ekonomi terkadang membuat seorang mantan narapidana melakukan kembali kejahatan  (residivis).

Padahal konsep baru sudah dikenalkan oleh Saharjo pada tahun 1964 bahwa tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan yang diejawantahkan menjadi mengembalikan kembali hidup, kehidupan dan penghidupan warga binaan pemasyarakatan. Selanjutnya dirinci kembali dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan pasal 2, bahwa tujuan pemasyarakatan adalah sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindakan pidana sehinga dapat kembali diterima di masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggunjawab. Sedangkan dalam pasal 3, disebutkan sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Melihat kondisi yang ada dan menilik UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, menurut saya ada 3 hal yang harus dilakukan oleh petugas pemasyarakatan dalam rangka memasyarakatkan warga binaan pemasyarakatan yaitu:

  1. Mengubah mindset

Salah satunya dengan cara desiminasi terkait pemasyarakatan. Para petugas pemasyarakatan harus masuk ke institusi terkecil dalam masyarakat yaitu pada tingkat RT dimana banyak sekali kegiatan di tingkat RT yaitu pengajian, arisan, dasawisma, rapat RT dan lain sebagainya, petugas pemasyarakatan bisa masuk pada kegiatan warga tersebut untuk memberikan sosialisasi mengenai pemasyarakatan dengan tujuan warga mempunyai pemahaman yang benar terkait pemasyarakatan.

  1. Percobaan re-integrasi kedalam masyarakat.

Hal ini diperuntukkan kepada narapidana dengan low risk (tentunya yang sudah di assesment oleh petugas pemasyarakatan) yang mempunyai kemungkinan melarikan diri sangat kecil. Karena kegiatan ini akan menghubungkan secara langsung narapidana dengan masyarakat luar lembaga.  Maka dari itu kegiatan ini mengharuskan narapidana didampingi oleh petugas petugas pemasyarakatan dalam membaur dan membantu kegiatan masyarakat. Bentuk kegiatannya seperti pembersihan dan pengecatan tempat ibadah seperti masjid dan gereja, ikut membersihkan jalan-jalan kampung, pemasangan tempat sampah hasil karya narapidana di jalan-jalan kampung dan ikut gotong royong warga dalam membangun rumah warga atau fasilitas publik di kampung. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengenalkan kembali narapidana kepada masyarakat. Dengan mambaur dan berinteraksi langsung dengan masyarakat diharapkan narapidana nantinya setelah bebas tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dan sebaliknya masyarakat juga tidak lagi canggung dan dengan cepat mau menerima keberadaan mantan narapidana.

  1. Kerjasama dengan stake holder.

Petugas pemasyarakatan bisa bekerjasama dengan NGO, LBH, yayasan, perusahaan, pemilik usaha, universitas, institusi pemerintah terkait, lembaga pendidikan informal non formal dan kelompok-kelompok masyarakat peduli pemasyarakatan. Petugas pemasyarakatan akan sangat terbantu dengan adanya stakeholder terkait baik pada saat pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan ataupun pembinaan diluar lembaga pemasyarakatan pada saat narapidana mendapat program asimilasi dan integrasi (dalam hal ini yang melakukan pembinaan adalah pihak balai pemasyarakatan). Bentuk kerjasama bisa mulai dari pembinaan kepribadian (berbuhungan dengan mental keagamaan dan konseling), pembinaan kemandirian (berhubungan dengan ketrampilan dan minat bakat), pengawasan, advokasi, fasilitasi dan pengembangan diri.

Kalau 3 hal di atas bisa berjalan selaras dan ditambah dengan revitalisasi peran petugas pemasyarakatan beserta stakeholder pemasyarakatan yang saling bahu membahu bukan hal yang mustahil mantan narapidana akan memiliki masa depan yang cerah, semoga.

Advertisements