Artikel | Litigasi | Non Litigasi | Pidana

MASALAH FUNDAMENTAL DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN HARUS DIURAI!

Oleh : Ardhi Kusuma, S.H

Kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia telah sangat tidak memadahi, salah satu alasannya karena telah terjadi kepadatan dimana jumlah penghuni lebih banyak daripada kapasitas yang disediakan oleh lembaga pemasyarakatan yang aktif. Hampir seluruh lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan mengalami overcrowded yang dipastikan merata. Otoritas penyelenggara lembaga pemasyarakatan tidak dapat berbuat banyak terhadap hal tersebut, karena pihak lapas hanya mempunyai kewajiban untuk menampung para tahanan dan warga binaan, selebihnya bukan merupakan kewajiban dari pihak lapas.

Overcrowded pada mayoritas lembaga pemasyarakatan di Indonesia memerlukan perhatian serius dari semua pihak dan harus ditangani dengan sungguh-sungguh karena seringkali menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks apabila hanya terus menerus didiamkan, contoh masalah pelik yang dapat ditimbulkan diantaranya adalah masalah Kesehatan, program pembinaan tidak berjalan dengan baik dan yang paling parah adalah dapat terjadi kerusuhan di dalam lapas karena situasi tidak kondusif.

Sebenarnya, menjadi rahasia umum jika kelebihan kapasitas penghuni lapas merupakan persoalan klasik yang terjadi pada beberapa negara. Khususnya negara berkembang yang masih menerapkan mekanisme pemidanaan konvensional penjara dan Indonesia adalah salah satunya.

Dengan sistem pemidanaan penjara, akan sangat mungkin setiap lapas memiliki potensi overcrowded apalagi Indonesia memiliki jumlah penduduk sebanyak 271 juta jiwa lebih. Sesuai teori hukum pidana yang menyatakan, “dimana ada manusia, disitu pasti ada kejahatan”. Jika semua kejahatan ditindak dengan pidana penjara, tentu lapas yang disediakan tentu tidak akan pernah cukup untuk menampungnya.

Menurut saya, ada 2 cara untuk dapat mengatasi masalah overcrowded tersebut, yaitu :

  1. SAHKAN RUU KUHP

 

Perubahan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) yang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR sepertinya belum menemukan titik terang. Pembahasan RUU ini sudah berlangsung lebih dari 40 tahun, sejak tahun 1980 an atau jaman orba hingga sampai saat ini tak selesai juga.

 

Penyempurnaan rancangan KUHP terus dilakukan dan akhirnya diserahkan kepada Hamid Awaluddin yang saat itu menjabat menjadi menteri hukum dan HAM pada tahun 2004. RUU KUHP juga sempat dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005 – 2009. Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), RUU KUHP belum juga disahkan. Bahkan sampai tulisan ini dibuat belum juga ada kejelasan bagaimana RUU tersebut akan dilaksanakan.

 

Banyaknya permasalahan yang terjadi pada proses pembuatan dan subtansi RUU KUHP sedikit banyak mempengaruhi perjalanan pengesahan RUU KUHP sehingga memerlukan waktu yang begitu lama untuk pengesahannya. Tetapi hal ini tidak boleh menjadi sebab untuk kemudian menunda kelanjutan pembahasannya.

 

Karena bagaimanapun kehadiran KUHP baru tersebut, sangat mempengaruhi sistem hukum Indonesia. KUHP baru tersebut digadang-gadang sebagai aturan hukum yang mengutamakan pemulihan keadilan (restorative justice) dalam pelaksanaan pidana di Indonesia yang jika menyangkut persoalan lapas, itu berarti berbicara tentang hulunya. Yakni sistem hukuman. Sementara, sejauh ini pemerintah tak pernah memperhatikan permasalahan pada hulunya. Mereka hanya berfokus pada persoalan yang terjadi di hilirnya. Hulunya ini yang sejak dari zaman kolonial tidak pernah tersentuh sampai saat ini. Wajar kalau kemudian hilirnya bermasalah sehingga lapas menjadi overcrowded.

 

Untuk itu seluruh elemen masyarakat Indonesia harus saling bahu-membahu untuk terus menerus menyuarakan  agar RUU KUHP segera dilanjutkan pembahasaannya dan segera disahkan. Kalau bukan kita siapa lagi.

 

  1. REVISI UU NARKOTIKA

 

UU Narkotika mengatur bahwa kategori hukuman bagi penyalahgunaan narkotika terdiri dari 3 bagian, ditentukan berdasarkan golongan yakni sebagai berikut :

  • Golongan I adalah perbuatan yang diancam pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
  • Golongan II untuk dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
  • Golongan III untuk pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Dalam hal ditemukan indikasi bahwa seseorang merupakan penyalahguna narkotika yang masuk dalam ketiga kategori tersebut, berdasarkan Pasal 127 ayat (2) hakim wajib untuk memperhatikan ketentuan mengenai pemberian rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 54, 55, dan 103. Kewajiban untuk proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika juga kembali ditekankan Pasal 127 ayat (3).

Pada realitannya, pemakai narkoba biasanya mendapatkan jerat hukuman pidana. Ancaman hukuman diatur melalui Pasal 127. Pasal ini dikenakan untuk pihak manapun yang mempunyai narkotika untuk disalahgunakan atau dicandu. Bagi pemakai narkoba, ancaman hukuman lebih ringan. Ada dua macam ancaman yang diberikan yaitu menjalani rehabilitasi, atau dipenjara dengan masa maksimal 4 tahun.

Adanya rehabilitasi bagi pecandu ini sesuai pula dengan ketentuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB yang menyatakan bahwa kecanduan merupakan penyakit kronis kambuhan yang bisa dipulihkan.

Perdebatan mengenai sanksi untuk pecandu narkotika telah melalui masa panjang, antara memakai pendekatan kriminal atau pendekatan kesehatan. Di luar urusan kriminal, pecandu dianggap berhak memperoleh rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Menurut pendapat pribadi saya, penangkapan pecandu narkotika hanya menjadikan lembaga pemasyarakatan penuh jika belum di prioritaskan pada rehabilitasi. Menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, kapasitas penampungan lapas di seluruh Indonesia per September 2021 adalah 130.107 orang.

Angka tersebut menjadi masalah karena total penghuni lapas telah mencapai 265.865 orang terdiri dari narapidana dan tahanan, sehingga memiliki kelebihan kapasitas mencapai 101,25 persen. Dari keseluruhan kasus, lebih dari setengahnya adalah kasus narkoba yaitu sebanyak 133.550

Maka tidaklah pantas pengguna narkoba harus dihukum penjara sebab pengguna narkoba orang yang dalam keadaan sakit yang wajib diobati sampai mereka sehat kembali, pemenjaraan bukan salah satu solusi bagi orang-orang yang mengalami kecanduan karena narkoba.

Advertisements