Advokat | Artikel | BPN | Hak Milik | Hukum Perdata | kewenangan PPAT | Konsultasi Tatap Muka | kuasa menjual | Litigasi | Non Litigasi | Pejabat Pembuat Akta Tanah | Pendampingan Laporan Polisi | Pidana

Mafia Tanah: Ancaman Sistematis terhadap Kepastian Hukum dan Keadilan

Oleh: Fathin Aqidatus Zahro, S.H., M.Kn dan Aida Nur Hikmah

Mafia tanah adalah jaringan kejahatan terorganisir yang bertujuan untuk mengambil alih atau menguasai tanah milik orang lain secara ilegal. Kejahatan ini dilakukan dengan menggunakan berbagai modus operandi yang sistematis, mulai dari pemalsuan dokumen hingga kolusi dengan aparat dan penipuan terhadap pemilik tanah yang sah. Praktik mafia tanah tidak hanya merugikan masyarakat pemilik tanah, tetapi juga negara, karena seringkali sasaran mereka adalah tanah-tanah strategis atau milik pemerintah.

Modus Operandi Mafia Tanah

Mafia tanah menggunakan berbagai cara untuk menguasai tanah secara ilegal. Beberapa modus operandi yang umum meliputi:

  1. Pemalsuan Dokumen: Mafia tanah sering memalsukan dokumen seperti girik, Surat Keterangan Tanah (SKT), atau sertifikat hak milik agar terlihat legal.
  2. Kolusi dengan Aparat: Mereka sering bekerja sama dengan oknum aparat atau pejabat desa untuk memperoleh keterangan palsu terkait kepemilikan tanah.
  3. Pemalsuan Proses Hukum: Mafia tanah bisa merekayasa perkara di pengadilan, menggunakan saksi palsu untuk memenangkan gugatan atas tanah yang bukan milik mereka.
  4. Penguasaan Fisik dan Intimidasi: Pemilik tanah sering diintimidasi, dipaksa menjual tanahnya dengan harga rendah, atau bahkan dikuasai secara paksa.

Dampak Kejahatan Mafia Tanah

Kehadiran mafia tanah memiliki dampak serius terhadap kepastian hukum, pembangunan, dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Beberapa dampak utama meliputi:

  • Hilangnya Hak atas Tanah: Pemilik tanah yang sah seringkali kalah dalam sengketa karena dokumen palsu atau kesaksian yang direkayasa.
  • Hambatan Investasi: Investor enggan berinvestasi di area yang berisiko terkena sengketa tanah.
  • Krisis Kepercayaan Hukum: Manipulasi hukum oleh mafia tanah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintah.
  • Penghambat Reformasi Agraria: Upaya pemerintah untuk mendata dan mendistribusikan tanah sering terhambat oleh keberadaan mafia tanah.

Perlindungan Hukum terhadap Pemilik Tanah

Pemilik tanah yang sah memiliki perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960). Sertifikat tanah adalah alat bukti yang sah atas kepemilikan, dan memiliki kekuatan hukum yang diakui. Untuk melawan mafia tanah, pemerintah telah mengambil langkah-langkah melalui pembentukan Satuan Tugas Anti-Mafia Tanah yang bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) serta kepolisian.

Upaya Pemberantasan Mafia Tanah

Pemerintah telah menetapkan beberapa regulasi untuk memberantas mafia tanah, termasuk melalui nota kesepahaman antara Kementerian ATR/BPN dan Polri, serta pedoman kerja bersama. Dasar hukum untuk menindak kejahatan mafia tanah mencakup beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti:

  • Pasal 263, 264, dan 266: Pemalsuan dokumen.
  • Pasal 167: Penyerobotan tanah.
  • Pasal 385: Penggelapan hak atas tanah.

Langkah lebih lanjut yang perlu diambil termasuk memperkuat transparansi dalam administrasi pertanahan, memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya pendaftaran tanah, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku mafia tanah.

Kasus Mafia Tanah: Nirina Zubir

Kronologi Kasus

Kasus ini bermula ketika ibunda Nirina Zubir, Cut Indria Marzuki, mempercayakan pengurusan enam sertifikat tanah miliknya kepada asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak 2009, Riri Khasmita. Ibu Nirina memberikan surat kuasa kepada Riri untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta mengurus sertifikat tanah tersebut. Namun, alih-alih mengurus sesuai amanat, Riri justru secara diam-diam memalsukan dokumen dan mengubah nama kepemilikan sertifikat menjadi miliknya dan suaminya, Endrianto. Dari enam sertifikat tersebut, empat di antaranya dijaminkan ke bank, dan dua lainnya dijual. Total kerugian keluarga Nirina Zubir mencapai Rp17 miliar.

Modus Operandi

Kasus Nirina Zubir memperlihatkan beberapa modus operandi klasik mafia tanah:

  1. Penyalahgunaan Kepercayaan: Riri menggunakan posisinya sebagai asisten rumah tangga dan kepercayaan yang diberikan oleh keluarga Nirina untuk melakukan penipuan. Modus seperti ini seringkali terjadi dalam mafia tanah, di mana pihak yang diberi kepercayaan memiliki akses langsung ke dokumen penting.
  2. Pemalsuan Dokumen: Riri dan suaminya memalsukan sertifikat tanah, bekerja sama dengan oknum notaris untuk membuat perubahan kepemilikan secara ilegal. Pemalsuan dokumen ini adalah salah satu elemen kunci dalam mafia tanah, di mana mereka memanfaatkan kekosongan pengawasan dan legalitas untuk mengubah status kepemilikan tanah.
  3. Kolusi dengan Oknum Notaris: Salah satu aspek yang sering terjadi dalam mafia tanah adalah kolusi dengan notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam kasus Nirina, Riri bekerja sama dengan notaris untuk memperlancar proses pemalsuan sertifikat tanah, yang memberi legalitas palsu pada proses tersebut. Ini adalah modus umum yang memungkinkan mafia tanah untuk bergerak di ranah legal, tetapi melalui cara ilegal.
  4. Penggelapan dan Penipuan: Tanah yang dimiliki ibu Nirina dijadikan jaminan di bank dan sebagian dijual, yang menunjukkan penggunaan modus penggelapan dan penipuan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari tanah yang bukan milik mereka.

Aspek Hukum

Kasus ini mengandung beberapa unsur pelanggaran hukum yang jelas:

  1. Pemalsuan Dokumen (Pasal 263 KUHP): Riri dan suaminya memalsukan sertifikat tanah agar kepemilikan tanah beralih kepada mereka. Pemalsuan ini melanggar pasal terkait pemalsuan surat atau dokumen otentik.
  2. Penipuan (Pasal 378 KUHP): Dengan berpura-pura mengurus sertifikat dan memanfaatkan kepercayaan yang diberikan, Riri melakukan penipuan yang jelas merugikan keluarga Nirina.
  3. Kolusi dengan Oknum Notaris (Pasal 266 KUHP): Oknum notaris yang terlibat dalam perubahan status kepemilikan tanah secara ilegal juga dapat dijerat dengan hukum terkait pemalsuan dokumen dalam akta otentik.
  4. Penggelapan (Pasal 372 KUHP): Setelah memindahkan nama kepemilikan, pelaku kemudian menjual dan menggadaikan tanah tanpa hak, yang jelas termasuk tindak pidana penggelapan.

Analisis Penyebab dan Faktor Pendukung

Kasus ini mengungkap beberapa faktor sistemik yang mendukung praktik mafia tanah:

  1. Lemahnya Pengawasan dan Verifikasi: Sistem pertanahan yang ada tidak cukup kuat untuk mendeteksi adanya perubahan kepemilikan secara ilegal. Pemalsuan dokumen dapat dilakukan dengan kolusi bersama oknum notaris, yang menunjukkan kelemahan dalam mekanisme verifikasi dan pengawasan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
  2. Kurangnya Kesadaran Pemilik Tanah: Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana kurangnya pengetahuan pemilik tanah terkait pentingnya pengamanan sertifikat tanah. Sertifikat tanah adalah alat bukti hukum yang sangat penting dan harus dijaga dengan baik untuk menghindari penyalahgunaan oleh pihak lain.
  3. Kolusi dengan Aparat: Kolusi dengan oknum pejabat, seperti notaris, menjadi celah besar yang dimanfaatkan oleh mafia tanah. Sistem pengawasan yang lebih ketat terhadap oknum yang terlibat dalam proses administrasi pertanahan, seperti notaris dan PPAT, sangat diperlukan.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Kasus seperti yang dialami Nirina Zubir memiliki dampak yang luas, baik secara sosial maupun ekonomi:

  • Kerugian Finansial yang Besar: Keluarga Nirina mengalami kerugian hingga miliaran rupiah akibat hilangnya aset tanah yang sah milik keluarga mereka.
  • Kehilangan Kepercayaan Publik terhadap Hukum: Kasus ini menyoroti bagaimana masyarakat dapat kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum ketika melihat mafia tanah bisa bergerak dengan begitu mudah melalui jalur legal, namun dengan cara ilegal.
  • Contoh Buruk dalam Penegakan Hukum: Kejadian ini juga menunjukkan ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk segera mendeteksi dan mencegah kolusi semacam ini, yang mengakibatkan berlarut-larutnya proses hukum.

Rekomendasi Solusi

Untuk mencegah terjadinya kasus serupa, beberapa langkah penting dapat diambil:

  1. Reformasi Sistem Administrasi Pertanahan: Sistem pertanahan perlu diintegrasikan secara digital untuk mempermudah verifikasi dan mengurangi kemungkinan pemalsuan dokumen.
  2. Pengawasan Ketat terhadap Oknum Notaris dan PPAT: Diperlukan pengetatan pengawasan terhadap notaris dan PPAT yang terlibat dalam pengurusan dokumen pertanahan, termasuk dengan memberikan sanksi tegas bagi yang terbukti terlibat dalam kolusi.
  3. Edukasi Masyarakat tentang Pentingnya Hak Atas Tanah: Masyarakat harus diberi pemahaman tentang pentingnya mengamankan sertifikat tanah dan prosedur legal yang benar dalam mengurus dokumen pertanahan.

Kasus Nirina Zubir bukan hanya menunjukkan praktik mafia tanah yang terencana dan terorganisir, tetapi juga memberikan peringatan bahwa celah hukum dan kelemahan sistem pengawasan dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab

Kesimpulan

Mafia tanah adalah ancaman serius terhadap kepastian hukum dan keadilan di Indonesia. Untuk memberantasnya, diperlukan upaya bersama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Langkah-langkah seperti penguatan administrasi pertanahan, edukasi masyarakat, dan pemberantasan korupsi di lembaga-lembaga terkait menjadi kunci untuk melawan kejahatan ini​

Advertisements