Advokat | Artikel | Hukum Perdata | Konsultasi Tatap Muka | Non Litigasi | Pembuatan Berkas Sidang | Pendampingan Laporan Polisi | Perdata | Pidana

Bagaimana Meminta Restitusi dalam Hukum Pidana?

Oleh: Assyifa Umaiya Umar, SH., MH.

Perkembangan sistem peradilan pidana saat ini tidak hanya fokus pada kepentingan pelaku, melainkan juga menitikberatkan pada perlindungan korban. Setiap korban tindak pidana memiliki hak atas perlindungan, restitusi, dan kompensasi. Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2022 mengenai Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi serta Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Penerbitan Perma ini dilakukan untuk memastikan adanya keseragaman dalam penerapannya, dengan merujuk pada beberapa peraturan yang telah ada sebelumnya, di antaranya:

  1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur restitusi dan kompensasi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2020 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.

 

RESTITUSI

Adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.

Menurut Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2022, tindak pidana yang dapat dimohonkan Restitusi adalah: Tindak Pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat, Terorisme, Perdagangan orang, Diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bentuk Restitusi yang diberikan kepada korban tindak pidana menurut Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2022 itu dapat berupa:

  1. Ganti Kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan;
  2. Ganti Kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
  3. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.

 

Untuk mengajukan permohonan restitusi, pemohon harus memperhatikan persyaratan administratif permohonan yang diatur dalam Pasal 5 Perma No.1 Tahun 2022. Permohonan restitusi harus dibuat tertulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, dan diajukan ke Ketua/Kepala Pengadilan, baik secara langsung maupun melalui LPSK, penyidik, atau penuntut umum. Jika korban merupakan seorang anak, orang tua, keluarga, wali, ahli waris, atau kuasanya dapat mengajukan permohonan, demikian pula dengan LPSK. Dalam situasi di mana terdapat lebih dari satu pemohon, penggabungan permohonan dapat dilakukan.

Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan Restitusi adalah Pengadilan yang mengadili pelaku tindak pidana, yaitu : Pengadilan Negeri, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Mahkamah Syar’iyah.

Ada dua cara korban tindak pidana dapat memperoleh Restitusi yakni : Pengajuan dan pemeriksaan permohonan Restitusi sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, serta pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Menurut Pasal 12 Perma No.1 Tahun 2022, Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 11: Dapat diajukan oleh Pemohon kepada Pengadilan secara langsung atau melalui LPSK. Permohonan diajukan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari sejak Pemohon mengetahui putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

KOMPENSASI

Adapun yang dimaksud dengan Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.

Permohonan kompensasi dapat diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus. Permohonan kompensasi wajib diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Yang berhak mendapatkan kompensasi menurut Pasal 16 Perma Nomor 1 Tahun 2022 adalah : Korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan Korban tindak pidana Terorisme. Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan kompensasi terhadap tindak pidana terorisme, adalah pengadilan sesuai tempat pelaku diadili, sedangkan Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan kompensasi terhadap tindak pidana pelanggaran HAM berat adalah Pengadilan HAM.

Korban tindak pidana pelanggaran HAM berat dan Tindak Pidana Terorisme, bila merujuk pada Pasal 17 Perma No.1 Tahun 2022 berhak memperoleh kompensasi berupa :

– Ganti kerugiaan atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan
– Ganti kerugiaan yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, termasuk luka atau kematian
– Penggantian biaya perawatan dan/atau pengobatan
– Kerugian materil dan imateril lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana.

Bukan hanya itu, khusus bagi korban pelanggaran HAM berat, kompensasi dapat diberikan dalam bentuk non uang atau natura.

Pengajuan permohonan Kompensasi tidak seperti Restitusi yang dapat diajukan sebelum atau sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, Permohonan Kompensasi hanya diajukan sebelum ada putusan pengadilan. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan untuk :

– Korban merupakan korban tindak pidana terorisme yang pelakunya tidak diketahui atau meninggal dunia
– Korban merupakan korban tindak pidana terorisme yang terjadi di luar wilayah Indonesia.

Advertisements