Advokat | Artikel | BPN | Hak Milik | Hukum dan Teknologi | Hukum Islam | Hukum Perdata | Konsultasi Tatap Muka | Legalisasi | Non Litigasi | Pejabat Pembuat Akta Tanah | Pembuatan Akta Notariil | Perdata | Perjanjian

Cara Mengajukan Hak Milik atas Tanah yang Ditinggal Pemiliknya

Hak milik adalah hak yang dapat diwariskan oleh pemiliknya kepada ahli warisnya, sehingga bersifat turun-temurun. Hak milik ini merupakan hak yang paling kuat, artinya hak ini sulit dihapus dan mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain. Hak milik juga merupakan hak yang paling luas dibandingkan dengan hak-hak lainnya. Selama tidak dibatasi oleh pihak berwenang, pemegang hak milik memiliki wewenang yang tidak terbatas, hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat 1 UUPA yaitu: “milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan menginat ketentuan dalam pasal 6”.  Selain bersifat turun menurun, terkuat, dan terpenuh, hak milik juga dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat 2 UUPA yaitu : “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.[1]

Hak milik atas tanah sangat penting karena memberikan perlindungan hukum dan kepastian bagi pemiliknya, serta memungkinkan penggunaan tanah untuk berbagai tujuan seperti pembangunan, pertanian, atau investasi yang menguntungkan. Tanah juga sering diwariskan, memberikan kestabilan finansial bagi keluarga dan memungkinkan perencanaan serta pengembangan sesuai kebutuhan individu atau bisnis. Selain itu, hak milik atas tanah berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup dengan menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman. Secara keseluruhan, hak milik tanah memastikan stabilitas, kepastian, dan peluang ekonomi yang penting bagi individu dan masyarakat.

Namun, tidak jarang ditemukan tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa perawatan atau pengelolaan yang memadai. Tanah terlantar ini dapat menjadi sumber masalah, baik dari segi hukum maupun sosial. Menurut Pasal 1 angka 2 PP 20/2021 tanah telantar adalah tanah hak, tanah hak pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara. Hal ini sesuai pada 86 Pada dasarnya, setiap pemegang hak, pemegang hak pengelolaan, dan pemegang dasar penguasaan atas tanah memiliki kewajiban untuk mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai.[2] Apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka tanah yang telah terdaftar atau belum terdaftar yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara, menjadi objek penertiban tanah telantar.[3]

Adapun, objek penertiban tanah telantar meliputi:[4]

  1. Tanah hak milik, menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara sehingga:
    1. dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan;
    2. dikuasai oleh pihak lain secara terus-menerus selama 20 tahun tanpa adanya hubungan hukum dengan pemegang hak; atau
    3. fungsi sosial hak atas tanah tidak terpenuhi, baik pemegang hak masih ada maupun sudah tidak ada;
  2. Tanah hak guna bangunan, hak pakai, dan Hak Pengelolaan menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak;
  3. Tanah hak guna usaha, menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak. dan;
  4. Tanah yang diperoleh berdasarkan Dasar Penguasaan Atas Tanah menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya Dasar Penguasaan Atas Tanah.

Namun, ada pengecualian objek penertiban tanah telantar atas tanah hak pengelolaan yang mencakup tanah masyarakat hukum adat dan yang jadi aset bank tanah.[5]

Suatu tanah dapat ditetapkan statusnya menjadi tanah telantar apabila telah melalui proses inventarisasi tanah terindikasi telantar yang dilaksanakan oleh kantor pertanahan.[6] Inventarisasi tersebut dilakukan berdasarkan laporan atau informasi yang bersumber dari:[7]

  1. Pemegang hak, hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah;
  2. hasil pemantauan dan evaluasi hak atas tanah dan dasar penguasaan atas tanah yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN;
  3. kementerian/lembaga;
  4. pemerintah daerah; dan/atau
  5. masyarakat

Selanjutnya, terhadap tanah yang terindikasi telantar dilakukan penertiban kawasan dan tanah telantar dengan tahapan:[8]

  1. evaluasi tanah telantar;
  2. peringatan tanah telantar; dan
  3. penetapan tanah telantar.

Apabila dari hasil evaluasi ditemukan adanya tanah telantar, kepala Kantor Wilayah akan memberikan peringatan tertulis sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 165 hari kepada pemegang hak, pemegang hak pengelolaan, atau pihak lain yang berkepentingan. Pihak-pihak ini diminta untuk mengusahakan, menggunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanah tersebut. Batas waktu untuk melaksanakan tindakan ini adalah maksimal 90 hari kalender setelah menerima surat peringatan pertama, 45 hari kalender setelah menerima surat peringatan kedua, dan 30 hari kalender setelah menerima surat peringatan ketiga. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 25 ayat 1, ayat 2, ayat 3 dan ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Penerbitan Kawasan dan Tanah Terlantar.[9]

Selanjutnya menurut ketentuan dalam Pasal 27 PP No. 20/2021, jika pemegang hak, pemegang hak pengelolaan, atau pemegang dasar penguasaan atas tanah tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, maka Kepala Kantor Wilayah dalam waktu paling lama 30 hari kerja akan mengusulkan penetapan tanah telantar kepada Menteri.

Suatu tanah hak atau tanah hak pengelolaan dan merupakan keseluruhan hamparan telah ditetapkan sebagai tanah telantar oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, maka penetapan tanah telantar memuat:[10]

  1. hapusnya hak atas tanah atau hak pengelolaan;
  2. putusnya hubungan hukum; dan
  3. penegasan sebagai tanah negara bekas tanah telantar yang dikuasai langsung oleh negara.

Setelah tanah tersebut berubah statusnya menjadi tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara, barulah pemohon dapat mengajukan permohonan hak milik kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Bada Pertahanan Nasional untuk memperoleh hak milih atas tanah negara tersebut. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas mengenai prosedur hukum untuk mengajukan hak milik atas tanah yang ditinggalkan pemiliknya.

 

Tata Cara Pemberian Hak Milik atas Tanah Negara

Telah dijelaskan sebelumnya, penetapan status tanah sebagai tanah telantar menyebabkan semua hubungan hukum antara tanah tersebut dan pemiliknya terputus, sehingga tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara. Setelah tanah telantar menjadi milik negara, barulah pihak lain dapat mengajukan permohonan hak milik atas tanah tersebut.

Mengenai tata cara pengajuan permohonan hak milik ini diatur dalam Permen ATR/Kepala BPN 18/2021. Pertama, pemohon hak atas tanah mengajukan permohonan kepada Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk permohonan hak milik.[11] Kedua, dalam hal dokumen persyaratan berupa fotokopi maka harus dilegalisir oleh pejabat yang menerbitkan dokumen atau pejabat umum.[12] Ketiga, permohonan hak atas tanah ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan sesuai dengan luas tanah yang diberikan berdasarkan dasar perolehan hak atas tanah.[13] Keempat, permohonan dapat diajukan melalui sistem elektronik yang disediakan oleh Kementerian ATR/BPN.[14]

Adapun syarat-syarat permohonan hak milik yang berasal dari tanah negara untuk perseorangan adalah sebagai berikut:[15]

  1. Identitas pemohon, atau identitas pemohon dan kuasanya serta surat kuasa apabila dikuasakan;
  2. Dasar penguasaan atau bukti hak meliputi:
    1. Sertipikat, akta pemindahan hak, akta/surat bukti pelepasan hak, surat penunjukan atau pembelian kavling, surat bukti pelunasan tanah dan rumah yang dibeli dari pemerintah, risalah lelang, putusan pengadilan, atau surat bukti perolehan tanah lainnya;
    2. Jika tidak ada bukti kepemilikan tanah di atas, penguasaan fisik atas tanah dituangkan dalam surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah yang disaksikan oleh minimal dua orang saksi dari lingkungan setempat yang mengetahui riwayat tanah dan tidak memiliki hubungan keluarga serta diketahui oleh kepala desa/lurah setempat atau nama lain yang serupa;
  3. Peta bidang tanah;
  4. Bukti perpajakan yang terkait dengan tanah yang dimohon, jika ada;
  5. Surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah dan tanggung jawab secara perdata dan pidana yang menyatakan bahwa:
    1. Tanah tersebut benar milik pemohon dan berstatus tanah negara;
    2. Tanah tersebut telah dikuasai secara fisik;
    3. Penguasaan tanah dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh pemohon sebagai yang berhak atas tanah;
    4. Perolehan tanah dilakukan sesuai data yang sebenarnya dan jika terjadi masalah di kemudian hari, pemohon bertanggung jawab sepenuhnya dan tidak akan melibatkan Kementerian;
    5. Tidak ada keberatan dari pihak lain atas tanah yang dimiliki atau tidak dalam sengketa;
    6. Tidak ada keberatan dari pihak kreditur jika tanah dijadikan jaminan utang;
    7. Tanah tersebut bukan aset pemerintah pusat/daerah atau BUMN/BUMD;
    8. Tanah yang dimohon berada di luar kawasan hutan dan/atau areal yang dihentikan perizinannya pada hutan alam primer dan lahan gambut;
    9. Bersedia tidak mengurung/menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum, akses publik, dan/atau jalan air;
    10. Bersedia melepaskan tanah untuk kepentingan umum baik sebagian atau seluruhnya.

Setelah berkas permohonan diterima lengkap dan pemohon telah membayar biaya penerimaan negara bukan pajak, Panitia A atau Petugas Konstatasi akan melakukan pemeriksaan tanah. Jika terdapat ketidaksesuaian data fisik dan yuridis, akan diberitahukan kepada pemohon.[16] Selanjutnya, keputusan pemberian atau penolakan permohonan hak milik akan diterbitkan sesuai kewenangan masing-masing, yaitu Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah, atau Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan.[17]

[1] Pasal 20 ayat 1-2 UUPA

[2] Hukum Online pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar (PP 20/2021). https://www.hukumonline.com/klinik/a/cara-mengajukan-hak-milik-atas-tanah-yang-ditinggal-pemiliknya-lt65e901ee36f6d/

[3] Hukum Online pada Pasal 5 PP 20/2021

[4] Hukum online pada Pasal 7 PP 20/2021

[5] Hukum Online pada Pasal 8 PP 20/2021

[6] Hukum Online pada Pasal 11 ayat 1 PP 20/2021

[7] Hukum Online pada Pasal 11 ayat 3 PP 20/2021

[8] Hukum Online pada Pasal 22 ayat 2 PP 20/2021

[9] Hukum Online https://www.hukumonline.com/klinik/a/cara-mengajukan-hak-milik-atas-tanah-yang-ditinggal-pemiliknya-lt65e901ee36f6d/

[10] Hukum Online pada Pasal 29 jo. Pasal 30 ayat 1 PP/2021

[11] Hukum Online pada Pasal 23 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak atas Tanah (“Permen ATR/Kepala BPN 18/2021”)

[12] Hukum Online pada Pasal 23 ayat (2) Permen ATR/Kepala BPN 18/2021

[13] Hukum Online pada Pasal 23 ayat (4) Permen ATR/Kepala BPN 18/2021

[14] Hukum Online pada Pasal 24 ayat (1) Permen ATR/Kepala BPN 18/2021

[15] Hukum Online pada Pasal 54 ayat 1 Permen ATR/Kepala BPN 18/2021

[16] Hukum Online pada Pasal 55 Permen ATR/Kepala BPN 18/2021

[17] Hukum Online pada Pasal 56 s.d. Pasal 59 Permen ATR/Kepala BPN 18/2021

Advertisements