Advokat | Artikel | Hukum Perdata | Konsultasi Tatap Muka | opini | Pembuatan Berkas Sidang | Pendampingan Laporan Polisi | Perceraian | Perdata | Pidana | Uncategorized

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Psikis) di Indonesia

Oleh: Putri Fitriani

A. Definisi dan Pengaturan KDRT Psikis di Indonesia
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Di status quo, pengaturan mengenai KDRT psikis diatur dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (yang selanjutnya disebut
UU PKDRT) khususnya dalam Pasal 5 UU a quo, yang berbunyi:

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :

  1. Kekerasan Fisik;
  2. Kekerasan Psikis;
  3. Kekerasan Seksual; atau
  4. Penelantaran Rumah Tangga.

Pasal tersebut kemudian dilanjutkan lebih rinci dalam Pasal 7 UU PKDRT yang berbunyi:
“Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”

Dalam hukum positif, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana diuraikan di atas merupakan delik aduan (vide Pasal 26 ayat (1) UU PKDRT). Adapun sanksi terhadap pelaku kekerasan psikis diatur dalam Pasal 45 UU PKDRT, yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Apabila melihat KUHP Baru (UU 1/2023), kekerasan psikis tidak diatur secara eksplisit, tetapi dapat dikontekstualisasikan dengan Pasal 446 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi:
“Setiap Orang yang secara melawan hukum merampas kemerdekaan orang atau meneruskan perampasan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.”
Kemudian dalam Penjelasan Pasal 446 ayat (1) berbunyi:
“Dalam ketentuan ini, merampas kemerdekaan dilakukan baik dalam bentuk fisik maupun psikis.”

Oleh karena itu, apabila ditinjau dalam konteks KUHP Baru, maka KDRT psikis tersebut dapat dikualifikasikan sebagai bentuk perampasan kemerdekaan orang yang dilakukan secara psikis. Adapun sifat delik perampasan kemerdekaan secara psikis tersebut merupakan delik biasa yang didapatkan melalui penafsiran secara a contrario dari pasal-pasal berikutnya yang hanya mengatur mengenai delik aduan hanya untuk perbuatan yang memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan ancarnan pencemaran atau pencemaran tertulis.

B. KDRT Psikis yang Dilakukan oleh Ibu
KDRT tidak hanya ditujukan kepada seorang suami, tetapi juga kepada seorang istri yang melakukan kekerasan baik terhadap suami, anak, kerabat maupun asisten rumah tangga yang menetap tinggal dalam satu rumah. Jumlah kasus KDRT yang dilakukan oleh perempuan memang tidak sebanyak jumlah kasus KDRT dengan pelaku laki-laki. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) hingga Oktober tahun 2022, kasus KDRT di Indonesia mencapai 18.261 kasus dan sebanyak 79.5% atau 16.745 korban berjenis
kelamin perempuan, sedangkan jumlah korban KDRT berjenis kelamin laki-laki mencapai 2.948 korban. Lebih lanjut, berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada 2023 terdapat 18.261 kasus KDRT yang dilaporkan ke kepolisian. Dari jumlah tersebut, sekitar 20.4% kasus KDRT yang dilakukan oleh istri terhadap suami. Akan tetapi, ketika tindakan kekerasan yang dilakukan oleh istri terhadap suami dilaporkan dan diproses secara hukum, seringkali pelaku dianggap sebagai korban dari peran sosial yang memaksa dan patriarki yang menyebabkan istri melakukan kekerasan.

Perempuan yang melakukan kekerasan terhadap pasangan laki-lakinya tidak dapat ditafsirkan sebagai ‘pertahanan diri’ karena mereka mengklaim bahwa perempuan cenderung untuk memulai kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh istri terhadap suami cenderung tidak dilaporkan
karena dipandang sebagai aib laki-laki yang tidak mampu menjadi pemimpin keluarga.

Hal tersebut selaras dengan pendapat Rachmad Hidayat, dosen Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM) yang pada pokoknya menyatakan bahwa laki-laki merasa sangat tidak maskulin untuk melapor sebagai korban atas KDRT yang dilakukan oleh istrinya. Secara faktual, bentuk kekerasan psikis ini yang paling sering dilakukan oleh perempuan. Misalnya ketika istri setiap hari menuntut suami, membanding-bandingkan suami dan tidak menghormati suami, menantu yang tidak memperlakukan mertua dengan baik, atau seorang ibu yang terus-menerus memarahi anaknya.

Selain itu, faktor terjadinya KDRT Psikis oleh ibu juga disebabkan posisi ibu yang menjadi sosok yang paling dekat dengan anak. Frekuensi pertemuan antara ibu dan anak sangat memungkinkan bagi anak untuk menjadi pelampiasan emosional dari ibu. Pertengkaran dengan suami, masalah ekonomi, banyaknya pekerjaan yang belum terselesaikan, dan kenakalan anak dapat menjadi pemicu bagi ibu untuk memarahi anak.

Kekerasan psikis memang agak sulit untuk dibuktikan sebab tidak ada ukuran yang jelas mengenai kualifikasi perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat. Satu-satunya cara untuk membuktikan adalah surat keterangan dari psikolog mengingat reaksi korban dalam menghadapi suatu masalah juga berbeda-beda, misalnya ada seorang ibu yang setiap hari memukul dan memaki-maki anaknya, tetapi anaknya tumbuh menjadi anak yang ceria dan berprestasi, tetapi ada pula seorang ibu yang hanya menegur anaknya, namun anak justru mengambil tindakan bunuh diri.

Dalam hal tersebut tentu penegak hukum tidak dapat serta-merta melakukan penegakan hukum terhadap si ibu. Oleh karena itu, seringkali dalam pembuktian KDRT Psikis menggunakan visum et repertum sebagai salah satu barang bukti, seperti dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar No. 200/Pid.B/2010/PN. Mks., Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa Nomor: 01/Pid.B/ 2015/PN Sgm., dan Putusan Pengadilan Militer III-16 Makassar Nomor: 110-K/PM III-16/AL/VIII/2015.

Faktor penghambat dalam pembuktian KDRT psikis adalah :

  1. Dampak psikis yang diatur melalui UU PKDRT dibatasi hanya pada perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang yang mana ekses negative kekerasan psikis tersebut hanya disebutkan tanpa tidak dijelaskan;
  2. Klausul yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari juga tidak tepat untuk menjadi indikator keparahan dampak psikis.
  3. Selain itu, kekerasan psikis merupakan kekerasan yang melekat pada kekerasan fisik dan seksual. Seseorang dapat saja hanya melakukan kekerasan psikis tanpa melakukan kekerasan fisik dan/atau seksual, tetapi kekerasan fisik dan/atau seksual umumnya dibarengi dengan kekerasan psikis sebab kekerasan fisik dan seksual bukan hanya menimbulkan dampak fisik, melainkan juga dampak psikis.

 

Dampak psikis dapat berbeda-beda di setiap orang dan tidak selalu muncul dalam bentuk gangguan jiwa yang kentara. Akan tetapi, dampak psikis dapat dirasakan korban sampai batas waktu yang tidak dapat dipastikan. Oleh karena itu, dibatasinya dampak psikis seperti pada poin 1) di atas dan menggolongkan keparahan kekerasan psikis berdasarkan dampak yang menghambat ruang lingkup pembuktian KDRT psikis.

Oleh karena itu, pelibatan unsur psikologis menjadi penting ketika mengevaluasi pengalaman korban KDRT dalam memperjuangkan keadilan hukum bagi penanganan kasusnya.

C. Pelindungan Hukum dan Mekanisme Pemulihan Korban KDRT Psikis
Korban KDRT berhak memperoleh pelayanan pemulihan baik dari tenaga medis, pekerja sosial, relawan pendamping, maupun pembimbing rohani (vide Pasal10 UU PKDRT). Adapun bentuk perlindungan hukum yang diberikan pada korban KDRT psikis tergantung pada kerugian yang diderita korban. Bentuk-bentuk perlindungan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi.
Perbedaan antara kedua istilah tersebut adalah kompensasi muncul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsibility of the society), kemudian restitusi lebih bersifat pidana yang timbul dari putusan pengadilan dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana (the responsibility of the offender). Beberapa sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kekerasan antara lain yaitu ganti rugi, kompensasi yang bersifat keperdataan dan diberikan melalui proses pidana, restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana diberikan melalui proses pidana, kompensasi yang diberikan melalui proses pidana dan didukung sumber-sumber penghasilan negara.

b. Pemberian konseling terhadap korban kekerasan psikis sebagai akibat munculnya
dampak negatif yang sifatnya psikis. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling ini sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang mendapati trauma berkepanjangan. Seperti pada kasus yang berhubungan dengan kesusilaan.

c. Pelayanan dan bantuan medis yang diberikan kepada korban yang menderita akibat
tindak pidana. Pelayanan medis dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis seperti visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti. Keterangan medis dapat digunakan jika korban akan melaporkan pelaku kekerasan guna ditindaklanjuti oleh aparat kepolisian.

d. Bantuan hukum dalam bentuk pendampingan terhadap korban kekerasan. Bantuan hukum ini biasanya diberikan oleh Komnas Perempuan atau oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada korban kekerasan.

e. Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaian dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan. Pemberian informasi sangat penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian. Melalui informasi ini, maka diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif. Adapun secara pidana, pelanggaran dalam UU PKDRT diatur dengan Bab VIII mulai dari Pasal 44 s.d. Pasal 53. Lebih khusus, untuk kekerasan KDRT di bidang seksual, maka berlaku pidana minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara atau 20 tahun penjara atau denda antara 12 juta s.d. 300 juta rupiah atau antara 25 juta s/d 500 juta rupiah. (vide pasal 47 dan 48 UU PKDRT).

Advertisements