Advokat | Artikel | Hukum Islam | Hukum Perdata | Konsultasi Tatap Muka | Non Litigasi | Pembuatan Berkas Sidang | Perdata | Perjanjian | Perjanjian kawin | Uncategorized

MANTAN SUAMI/ISTRI MENJUAL HARTA BERSAMA TANPA PERSETUJUAN MANTAN PASANGAN, BOLEHKAH?

Oleh: Ihza Haydar Putra, S.H.
Apa itu harta gono gini?

Didalam suatu perkawinan terdapat 2 (dua) jenis harta yaitu:

  1. Harta gono-gini atau yang dalam peraturan perundangan disebut dengan harta bersama adalah Harta benda yang diperoleh oleh suami dan istri selama perkawinan dan bukan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Menurut Kompilasi Hukum Islam Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri‐sendiri atau bersama suami‐isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
  2. Harta pribadi adalah harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri (harta yang diperoleh sebelum perkawinan dilangsungkan) dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Bagaimana kedudukan persetujuan mantan suami/istri dalam penjualan harta gono gini?

Menurut Pasal 36 UU 1 tahun 1974 diatur mengenai persetujuan suami atau istri terhadap penjualan harta bersama (harta gono-gini) yaitu segala tindakan terhadap harta bersama harus mendapatkan persetujuan baik dari suami maupun dari istri. Maka tanpa persetujuan dari pihak lain (baik suami ataupun istri) tidak boleh menjual atau memindahkan harta bersama. Hal tersebut juga berlaku terhadap harta bersama yang masih ada dan belum terbagi setelah adanya perceraian, dimana karena harta tersebut masih masuk kedalam harta gono-gini maka persetujuan mantan pasangan masih dibutuhkan untuk menjual ataupun mengalihkan harta tersebut.

Lalu bisakah kita menjual harta gono-gini secara sepihak?

Pada dasarnya harta gono-gini tidak dapat dijual tanpa persetujuan pasangan, namun kita dapat membuat perjanjian perkawinan mengenai pisah harta sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Jo 48 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 29 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sehingga baik suami atau istri dapat secara mandiri menguasai harta yang diperoleh masing-masing dan tidak memerlukan persetujuan pasangan untuk menjual harta yang diperolehnya.

Apa upaya hukum mengenai pemindahan atau penjualan harta gono-gini secara sepihak?

Dalam suatu jual-beli pasti akan dibuat suatu perjanjian, dalam suatu perjanjian terdapat 4 syarat sah perjanjian yaitu

  1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab (causa) yang halal.

Dalam suatu perjanjian tidak terpenuhinya terhadap syarat sah mengenai kesepakatan dan kecakapan membuat perikatan memiliki konsekuensi bahwa perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan tidak terpenuhinya syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal memiliki konsekuensi perjanjian batal demi hukum. Dalam penjualan harta bersama secara sepihak, dapat disimpulkan tidak memenuhi syarat suatu sebab yang halal. Hal ini dikarenakan penjualan secara sepihak bertentangan dengan Pasal 92 KHI yang berbunyi “Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.“ dan Pasal 36 ayat (1) UU 1 taun 1974 yang berbunyi “mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.” Hal ini menyebabkan terhadap perjanjian jual-beli tersebut dapat diajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum mengenai pembatalan perjanjian jual-beli.

Dari segi hukum pidana perbuatan menjual harta gono-gini tanpa persetujuan suami atau istri ataupun bekas suami atau bekas istri dapat dikategorikan sebagai penggelapan sesuai dengan Pasal 372 KUHPidana yang berbunyi “ Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Advertisements